𝐋𝐚𝐦𝐩𝐮𝐧𝐠, 𝐦𝐞𝐝𝐢𝐚𝐫𝐞𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐧𝐞𝐰𝐬.𝐜𝐨𝐦 – Senin, 30 Juni 2025, H. Nurdin Yahya, S.E., Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Bandar Lampung, yang berlokasi di Jl. Putri Balau Nomor 28, Kelurahan Kedamaian, Kecamatan Kedamaian, Kota Bandar Lampung, angkat bicara mengenai dugaan pelanggaran hukum serius terhadap hak atas tanah miliknya. Tanah peladangan seluas 12 hektare di Dusun Mujimulyo, Desa Muara Putih, berbatasan dengan Desa Tanjung Sari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, secara ilegal telah dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berhak, bahkan tanpa mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan tol yang seharusnya.
Tanah dengan panjang 800 meter dan lebar 200 meter ini adalah milik sah H. Nurdin Yahya berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 53/Akte/1974 yang dibuat di hadapan Notaris Tumpak Holong L. Tobing pada tanggal 11 Maret 2006. Pembelian dilakukan dari Soemadi, seorang purnawirawan TNI AU. Namun, sejak tanggal pembelian tersebut, H. Nurdin Yahya sama sekali tidak pernah dapat menggarap atau menikmati haknya atas tanah tersebut.
Mirisnya, sebagian besar dari 12 hektare lahan tersebut kini dikuasai oleh sekitar 40 Kepala Keluarga (KK) yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok "Reformasi". Menurut keterangan dari Bapak Marikun, pihak kepercayaan H. Nurdin Yahya, kelompok penggarap ini tidak memiliki bukti kepemilikan atau surat-surat resmi yang sah atas tanah yang mereka duduki. Tindakan penguasaan tanpa dasar hukum ini adalah pelanggaran berat terhadap hak kepemilikan pribadi yang dilindungi undang-undang.
Lebih mencengangkan, sebagian kecil dari lahan 12 hektare ini juga telah terkena proyek pembangunan jalan tol Terbanggi Besar-Bakauheni pada tahun 1997. Namun, sebagai pemilik sah, H. Nurdin Yahya tidak pernah menerima sepeser pun ganti rugi dari pembebasan lahan tersebut, sebuah ketidakadilan yang harus segera diatasi.
Peringatan Keras: Implikasi Hukum Bagi Penguasa Tanpa Hak
Pihak-pihak yang saat ini menguasai tanah milik H. Nurdin Yahya tanpa dasar hak yang sah diingatkan keras bahwa tindakan mereka adalah ilegal dan dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius. Hukum positif di Indonesia sangat tegas dalam melindungi hak atas tanah dan kepemilikan properti.
-- Tindakan Pidana Penyerobotan Tanah: Penguasaan tanah tanpa izin pemilik yang sah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyerobotan tanah. Mereka yang terbukti melakukan penyerobotan dapat dijerat dengan Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau peraturan lain yang relevan, dengan ancaman pidana penjara hingga empat tahun dan/atau denda yang signifikan.
-- Gugatan Perdata: Selain ancaman pidana, H. Nurdin Yahya sebagai pemilik sah berhak penuh untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan guna menuntut pengosongan lahan secara paksa serta menuntut ganti rugi atas seluruh kerugian materiil dan immateriil yang timbul akibat penguasaan tidak sah selama bertahun-tahun.
-- Kewajiban Pengosongan: Setiap pihak yang menduduki tanah tanpa bukti kepemilikan yang sah akan diwajibkan untuk segera mengosongkan lahan tersebut dan mengembalikan sepenuhnya kepada pemilik yang sah berdasarkan putusan pengadilan. Ketidakpatuhan akan berujung pada eksekusi paksa.
-- Hak Ganti Rugi Tol yang Tak Terbantahkan: Pemerintah atau pihak terkait harus segera meninjau kembali dan memastikan hak ganti rugi pembebasan lahan tol milik H. Nurdin Yahya yang hingga kini belum terealisasi. Hak ini adalah mutlak dan harus dipenuhi sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang menjamin ganti kerugian yang layak dan adil bagi pihak yang berhak.
H. Nurdin Yahya mendesak aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), untuk segera bertindak tegas menertibkan penguasaan tanah ilegal ini, serta memfasilitasi pemenuhan hak ganti rugi yang tertunda. Tidak ada toleransi bagi pelanggaran hukum yang merugikan hak-hak dasar warga negara dan menghambat kepastian hukum dalam investasi agraria.(***)
𝐓𝐈𝐌/𝐑𝐞𝐝