Pemerintah DKI lagi-lagi "kelebihan bayar", Proyek PLTS atap sekolah Rp 1,12 miliar

 


JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta mengungkapkan bahwa ternyata ditemukan kelebihan pembayaran pada pembelian alat pemadam kebakaran (damkar), dan pada pembelian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap on grid di sekolah negeri.


"Harga riil pembelian barang atas empat paket pekerjaan berdasarkan bukti pembayaran lebih rendah dari harga kontrak yang telah dibayarkan oleh Dinas Perindustrian dan Energi." Demikian laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta.


Laporan ini merupakan hasil pemeriksaan terhadap laporan keuangan Pemerintah DKI pada 2019. Laporan terbit pada 19 Juni 2020 yang ditandatangani Kepala Perwakilan BPK DKI Pemut Aryo Wibowo.


Seperti dilansir oleh jakartadaily.net kelebihan bayar hingga Rp 1,12 miliar ini terungkap lantaran adanya selisih antara nilai kontrak dengan harga riil paket pekerjaan. Ada empat proyek PLTS atap sekolah pada 2019.


Adapun rincian proyek serta selisih pembayarannya, sebagai berikut pertama, PLTS atap on grid Jakarta Pusat dengan nilai kontrak Rp 2,05 miliar dan harga riil Rp 1,62 miliar, selisih Rp 424,34 juta. Kedua, PLTS atap on grid Jakarta Selatan dengan nilai kontrak Rp 2,05 miliar dan harga riil Rp 1,61 miliar, selisih Rp 445,75 juta. Ketiga PLTS atap on grid Jakarta Barat dengan nilai kontrak Rp 1,95 miliar dan harga riil Rp 1,82 miliar, selisih Rp 128,33 juta. Keempat, PLTS atap on grid Jakarta Timur dengan nilai kontrak Rp 1,94 miliar dan harga riil Rp 1,82 miliar, selisih Rp 128,47 juta.


Sebelumnya, BPK juga menemukan kejanggalan dalam pembayaran empat paket pengadaan alat pemadam kebakaran DKI. Indikasinya pembayaran pengadaan mobil damkar itu kelebihan Rp 6,5 miliar.


Pegiat media sosial, Denny Siregar heran mengapa kelebihan pembayaran yang dilakukan anak buah Anies pada proyek tersebut tidak dinilai oleh KPK sebagai indikasi korupsi.




“Teruss aja dibilang kelebihan bayar, bukan korupsi,” cuit Denny Siregar lewat media sosial Twitter miliknya. Ia menilai, mungkin sudah seharusnya KPK berganti nama menjadi Komisi Pemberantasan Kelebihan Bayar atau KPKL.


“Mungkin sudah seharusnya KPK_RI ganti nama jadi KPKL, Komisi Pemberantasan Kelebihan Bayar,” ujar Denny.


Dalam cuitannya itu, Denny Siregar juga menyertakan link artikel pemberitaan berjudul ‘Lagi, Anak Buah Anies Kelebihan Bayar Proyek PLTS Atap Sekolah Rp 1,12 Miliar’.***

Lebih baru Lebih lama