Ini kata pemuda mengenai RUU TPKS

Jakarta, Media Realita News - Di antara para aktivis perempuan yang hadir dalam pertemuan dengan Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung Nusantara kompleks Parlemen (11/1/2022), beberapa pemuda tampak hadir dan aktif mengikuti.

Mika Simon Sibarani yaitu pemuda yang hadir bersama rekannya dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro menyampaikan apresiasinya terhadap Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

“Kami sangat mendukung dan mengapresiasi penuh RUU TPKS yang menjadi RUU Inisiatif DPR sebab kita butuh RUU TPKS untuk menciptakan ruang aman yg bebas kekerasan seksual. Kami mendukung adanya keterbukaan dan pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU TPKS ini," kata Mika. 

Kehadiran beberapa pemuda dalam dengar pendapat bersama para aktivis perempuan itu, mendapat perhatian dari Puan. 

“Baik sekali kalau semua, termasuk kaum lelaki juga concern soal RUU TPKS, karena ini sebenarnya bukan hanya masalah perempuan dan anak, tapi masalah bangsa,” kata Puan.  

Mika tentu bukan satu-satunya pria yang memiliki kepedulian atas RUU TPKS ini. Ada banyak pria mendukung disahkannya RUU TPKS karena kekerasan seksual juga bisa dialami pria. Menurut catatan Komnas Perempuan, ada 1 dari 10 laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. 

Dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR pada Februari 2021, Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar menyampaikan hasil studi kuantitatif yang dilakukan organisasinya dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang melaporkan 33,3 persen laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. Meski tidak sebanyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang mencapai lebih dari 66%, jumlah tersebut sangat signifikan bila merujuk pada perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).

Apresiasi atas pernyataan Puan yang menyatakan akan segera mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR juga dilontarkan  Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. 

“Saya mengapresiasi langkah Ketua DPR jika pekan depan menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif yang diprioritaskan dan segera disahkan,” kata Usman.

Dengan adanya kondisi darurat kekerasan seksual maka RUU TPKS menjadi urgen untuk segera disahkan juga disampaikan oleh aktivis kesetaraan dan keragaman yang juga akademisi dari Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Nur Iman Subono. Ia dengan tegas mengatakan mendukung disegerakannya pengesahan RUU TPKS ini. 

Menurutnya, meskipun prioritas dan fokus penanganan kekerasan seksual lebih berfokus untuk perempuan, korban dan pelaku bisa siapa saja. “Jelas RUU ini untuk kemaslahatan orang banyak,” cetusnya.

Budiman Sudjatmiko pun menyampaikan hal sama terkait perkembangan RUU TPKS ini.

“Benar kata Ketua DPR bahwa RUU TPKS ini harus disegerakan. Apalagi, kasus kekerasan umumnya seperti gunung es. Yang muncul di permukaan hanya sebagian kecil saja, sementara kasus lain yang lebih banyak, terkubur di bawah permukaan,” katanya. 

Budiman dan Usman juga mengingatkan, perlunya memperhatikan dan melindungi kepentingan korban dalam kasus kekerasan. Perlindungan korban ini pula yang menurut Usman, menjadi alasan RUU TPKS harus segera disahkan.

“RUU ini hendak memberi landasan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan negara. Sebab penindakan dan pencegahan jenis kejahatan ini belum diatur dalam Undang-Undang lain. Padahal sangat penting bagi perlindungan hak asasi manusia, baik melalui penghukuman pelaku maupun perlindungan berbasis prinsip pencegahan kekerasan seksual, serta pemulihan maupun pemenuhan hak-hak korban yang belum diatur Undang-Undang lain,” ungkap Usman.

Nur Iman, Usman dan Budiman juga menolak pendapat kelompok yang menentang RUU TPKS ini. “Tidak ada pasal-pasal dalam RUU TPKS yang bisa dianggap pro perzinahan dan sebagainya. RUU ini secara khusus atau lex spesialis menangani kekerasan seksual dan fokus pada perlindungan korban, hukuman dan rehabilitasi pelaku supaya kekerasan tidak terjadi lagi. RUU ini harus dikawal bersama sampai menjadi undang-undang,” katanya. 

“Jika mereka pakai dasar agama untuk menolak RUU ini, itu keliru karena agama juga melarang kekerasan seksual. Hukum internasional juga melarang kekerasan seksual, bahkan jenis-jenis tertentu dari kekerasan seksual dianggap pelanggaran berat HAM. Hukum pidana tentang zina dan kesusilaan yang diatur Undang-Undang lainnya sangat problematik dan harus diperbaiki. RUU ini adalah upaya perbaikan sistem perlindungan negara kepada kita semua, tanpa kecuali, termasuk anak cucu kita,” Usman menjelaskan. 

“Jangan sampai kekolotan segelintir kelompok yang salah paham atau menyalahpahami RUU TPKS ini mempengaruhi pemikiran tentang urgensi untuk memberi ruang aman bagi kemanusiaan. Suara minor dari sedikit orang ini tak boleh menggagalkan ekspresi dan kebutuhan banyak orang,” tandas Budiman.***
Lebih baru Lebih lama